“Ayo, Yuuki! Ayo! Terus, Yuuki!” teriak Eru. Aku
hanya memandangnya sekilas, lalu mengalihkan pandanganku pada anak laki-laki
yang dia teriaki. Anak laki-laki itu sedang menggiring bola ke gawang lawannya,
yaitu kelas 8-D. Aku melihatnya yang berkeringat sambil tersenyum.
Aku telah
menyukai Yuuki sejak lama, pada saat kelas 6 SD dulu, saat aku dan dia belajar
di bimbingan belajar yang sama. Aku sendiri tak tau kenapa aku menyukainya.
Saat pertama kali aku memandang matanya, aku merasa ada yang lain darinya.Aku
merasa dia adalah pangeran berkuda putih yang akan datang padaku. Ya, aku tau,
mungkin itu agak berlebihan. Tapi, memang itu yang kurasakan.
“Goool!!!”
tiba-tiba Eru berteriak lebih kencang.
“Yuuki! Kau
hebat!” tambahnya saat peluit ditiup tanda permainan telah usai.
Yuuki berjalan
ke luar lapangan sambil tersenyum dan menghapus keringat di dahinya. Aku segera
kembali ke kelas sebelum dia menyadari aku memandanginya sejak tadi.
Sesampainya di
kelas, aku melihat Ginny meletakkan kepalanya di meja. Aku pikir dia bosan.
Hari ini adalah hari-hari Classmeeting. Jadi, diadakan
pertandingan-pertandingan antar kelas dan murid-murid dibebaskan dari
pelajaran.
“Lily! Antar
aku beli jajan dong!” seru Ginny saat aku sudah berada di dekatnya.
Aku mengangguk
dan kami pun keluar kelas dan menuju ke kantin sekolah.
“Hei, Kenapa
sih dari tadi kau di luar?” tanya Ginny saat kami telah duduk di bangku kantin
sambil memakan makanan ringan yang baru kami beli.
“Biasa.”
jawabku sambil tersenyum, mengingat-ingat Yuuki tadi.
“Ah, aku tau!
Pasti kau memandangi si Yuuki itu kan? Aduh Lily! Sudah berapa kali kubilang
padamu? Dia itu tidak baik. Coba pikir, dia berganti pacar sama dengan dia
berganti pakaian! Bagaimana kau bisa menyukai orang seperti itu sih?”
“Iya Gin. Aku
tau dia sering berganti pacar, tapi tetap saja tidak mungkin sebanyak dia
berganti pakaian!”
Ginny
menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu berkata, “Kau mau tau apa pendapatku?
Kurasa kau telah dibutakan oleh yang namanya suka.”
“Mungkin.” jawabku
sambil tersenyum.
Ginny
menggeleng-gelengkan kepalanya lagi lalu memakan makanan ringannya.
“Hei, kenapa
kalian ada disini?” kata sebuah suara dari belakng kami. Aku menoleh dan
melihat Kazuki memandang kami dengan pandangan mencela sambil berkacak pinggang.
“Oh, kau Kazu,
kukira siapa! Terserah kami dong! Kau sendiri juga kenapa ada disini?” jawab
Ginny.
“Kalian ini!
Tau tidak, badminton putra kelas kita sedang bertanding tuh! Kenapa kalian
tidak memberi dukungan dan malah enak-enakan makan disini!”
“Yee, kau
sendiri juga tidak memberi dukungan begitu!” balasku
“Aku sudah
main saat futsal tadi! Kalian dari tadi tidak kelihatan!”
“Memangnya
kami apa tidak kelihatan? Oh ya, badmintonnya lawan kelas apa nih?”
“Kalau nggak
salah sih kelas 8-C. Lawannya kuat pokoknya! Kalau tidak salah namanya Yuuki.”
Aku langsung
terlonjak mendengar nama Yuuki disebut. Aku harus menontonnya bertanding! Mana
mungkin aku melewatkan kesempatan seperti ini?
“Ginny! Ayo lihat!” ajakku
Ginny menghela
nafas panjang dan sepertinya pasrah, lalu mengangguk dan mengikutiku keluar
kantin, menuju lapangan badminton.
“Hei, kenapa
kalian buru-buru begitu? Hei!” teriak Kazuki yang kebingungan saat melihat kami
meninggalkannya di kantin.
Di jalan kami
menuju lapangan, aku mendengar Ginny bergumam, “Selalu saja begini!” dan
menghela nafas.
Aku dan Ginny
menonton Yuuki bertanding sampai selesai. Ginny bersorak mendukung kelas kami
seperti yang lainnya. Sedangkan aku hanya diam dan dalam hati mendukung Yuuki.
Akhirnya,
pertandingan badminton pun selesai dengan kekalahan kelasku dan kemenangan
kelas Yuuki. Hal itu membuatku sangat senang dan hampir bersorak gembira.
Pada pukul 12
siang, sekolah sudah sepi, namun aku belum juga dijemput.
“Lily, antar
aku ke depan yuk! Aku sudah dijemput nih!” kata Ginny
“Iya, iya. Ayo
ambil tas dulu.”
Kami pun
kembali ke kelas dan mengambil tas masing-masing. Di kelas, kulihat tak ada
satu pun tas yang ada kecuali tasku dan Ginny.
“Ternyata,
hanya tinggal kita di kelas ini.” seru Ginny saat melihat ke sekeliling kelas.
“Iya. Tapi,
dimana Phy dan Luqy?”
“Mungkin
mereka berkeliling sekolah seperti biasa.” jawab Ginny sambil mengangkat
bahunya. Lalu, dia keluar dan aku mengikutinya.
Sesampainya
diluar kelas, aku melihat Yuuki sedang berjalan ke arahku. Aku terpaku di tempatku
berdiri. Dia berjalan ke arahku? Apakah ini mimpi?
“Aku duluan.
Ingat kata-kataku, dia tidak sebaik yang kaupikirkan.” Kata Ginny lalu bergegas
meninggalkanku.
“Hai.” Sapa
Yuuki begitu dia sampai di depanku.
Aku hanya
tersenyum untuk menjawab sapaannya.
“Kau tau dimana
Eru tidak?”
Aku
menggeleng, lalu berkata, “Kurasa dia sudah pulang. Kelas kami sudah kosong.”
“Oh, terima
kasih. Oh ya, sepertinya kita pernah bertemu. Dimana ya?”
Apa? Dia
ingat?
“Ah ya! Kita
satu bimbingan belajar bukan saat kelas 6? Kalau tidak salah namamu Lily. Iya
kan?”
Aku
mengangguk. Ini rasanya benar-benar seperti mimpi! Aku bisa melayang kalau
terus-terusan begini!
“Tuh kan
benar! Cukup mudah untuk mengenalimu. Oh ya, kau ingat aku pernah meminta nomor
ponselmu saat kelas 6 dulu?”
Aku mengangguk
lagi. Rasanya mulutku terkunci rapat dan aku tidak bisa berbicara sama sekali.
“Yah,
sebenarnya aku masih menyimpan nomormu sampai sekarang. Kau belum mengganti
nomormu kan?”
Aku menggeleng
cepat. Saat aku melihat wajah Yuuki, dia terlihat lega dan bersyukur.
“Syukurlah!
Soalnya aku ingin bisa menghubungimu.” katanya lagi.
Oh tidak!
Sepertinya aku melayang lebih tinggi deh!
“Oh ya, Eru
juga pernah bercerita padaku tentangmu.” lanjutnya
“Ap-apa yang dia katakan padamu?” tanyaku
tergagap
“Dia bilang
kau seorang pemimpi yang selalu menulis mimpinya di buku khusus. Dia juga
bilang kau tukang melamun dan berkhayal. Katanya kau juga suka bicara sendiri.”
katanya sambil tertawa terbahak.
Aku tertegun
mendengar ucapannya. Di satu sisi, aku marah, sangat marah pada Eru karena
mengatakan yang bukan-bukan. Dia memang tidak sepenuhnya berbohong, aku memang
bisa dibilang sebagai pemimpi, tapi aku tidak suka berkhayal dan bicara
sendiri! Yang kutulis itu adalah cerita, bukannya khayalanku!
Tapi, di sisi
lain aku sakit hati. Hatiku hancur berkeping-keping. Setelah aku merasa
melayang-layang di langit, aku seperti dijjatuhkan, bukan, dilemparkan begitu
saja hingga hancur saat mencapai bumi. Mungkin malah sudah hancur sebelum
mencapai bumi.
Tanpa
kusadari, air mataku mulai bercucuran sampai pipiku basah. Melihatku yang menangis,
tawa Yuuki berhenti. Wajahnya berubah menjadi panik.
“Lily? Kau
kenapa?” tanyanya bingung.
Aku tetap
diam. Namun, air mataku mengalir semakin deras. Yuuki yang selama ini kukagumi,
kusukai diam-diam, ternyata menertawakan diriku di depan mataku. Kukira dia
berbeda dari anak-anak lain, kukira dia adalah pangeran berkuda putih yang akan
datang menyongsongku. Ternyata dia tak lebih baik dari yang dibilang Ginny.
“Lily? Ada apa
denganmu? Ayolah, jangan membuatku panik!” kata Yuuki lagi.
“Kau bodoh Yuuki! Benar benar bodoh! Kau pikir
bagaimana perasaanku saat kau bilang itu semua? Kau pikir aku akan ikut tertawa
bersamamu? Kau tau, selama ini aku berpikir kau itu seperti pangeran berkuda
putih. Tapi ternyata, kau tidak lebih dari orang yang tidak punya perasaan!”
Setelah
berkata begitu, aku berlari meninggalkannya. Aku berlari dan terus berlari
mengelilingi sekolah tanpa tujuan. Hingga akhirnya aku sampai di halaman
belakang sekolah dan duduk bersandar pada dinding gedung.
Disana aku
menangis tersedu-sedu tanpa henti. Hatiku hancur karena perkataan Yuuki. Dia
benar-benar tak punya perasaan! Bagaimana aku bisa menyukainya dulu? Bagaimana
aku bisa menganggapnya berbeda? Bagaimana aku bisa tertipu dengan tatapan
matanya?
Di
tengah-tengah tangisanku, samar-samar aku mendengar suara tawa nyaring yang
akrab di telingaku dan teriakan seseorang.
“Luqy!
Berhenti!” teriak suara itu. Lalu ada suara lain yang menjawabnya dengan
tertawa.
Suara itu
semakin mendekat hingga aku mendengarnya berkata, “Lily? Sedang apa disini?”
Aku mendongak
dan melihat Luqy memperhatikanku dengan bingung. Di belakangnya ada Phy yang
juga melihatku dengan tatapan bingung.
“Luqy! Lily
menangis!” kata Phy kaget.
“Lily? Kenapa?
Kenapa kau menangis?” tanya Luqy.
“Yuuki.”
jawabku pendek.
Mereka tertegun,
lalu memelukku dan menenangkanku dengan segala kalimat penenang yang mereka
tau. Aku mengelap air mata yang ada di pipiku. Ingin rasanya aku bisa berhenti
menangis. Tapi, entah kenapa aku tidak bisa.
“Hei, kalian
kenapa berpelukan begitu? Kalian tidak normal ya?”
Aku, Luqy, dan
Phy menoleh untuk melihat siapa yang berbicara. Ternyata dia adalah Kazuki.
“Apa yang kau
lakukan disini?!” tanya Luqy kesal.
“Kau mengikuti
kami ya?” tambah Phy.
“Enak saja
kalian menuduh! Aku tidak mengikuti kalian kok! Hei Lily, kau kenapa? Menangis
begitu, seperti bayi saja!”
Sial!
Bisa-bisanya Kazuki mengolokku yang sedang sakit hati begini. Kazu, awas kau
ya!
Aku pun
bangkit dan mulai mengejar Kazuki. Kazuki yang melihatku bangkit segera lari.
“Apa kau
bilang tadi? Coba ulangi lagi!” geramku sambil tetap mengejar Kazuki.
“Tidak ada
siaran ulang untukmu!” katanya sambil menoleh dan menjulurkan lidahnya ke
arahku.
Mungkin, aku
tidak mendapatkan Yuuki sebagai pangeran berkuda putihku. Tapi, aku masih
memiliki teman-teman yang sangat menyayangiku dan selalu menghiburku.
***